Nilai Kehidupan di Balik Pura Bukit Jati
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar

Nilai Kehidupan di Balik Pura Bukit Jati
Di Pura Bukit Jati di Desa Samplangan, Gianyar terdapat banyak pelinggih. Ada pelinggih utama dan ada yang pelengkap. Secara umum di setiap tempat pemujaan Hindu di Bali selalu ada pelinggih untuk Dewa Pratistha dan ada pelinggih untuk Atma Pratistha. Pelinggih untuk Dewa Pratistha adalah pelinggih untuk memuja para Dewa manifestasi Tuhan. Pelinggih Atma Pratistha tempat pemujaan roh suci leluhur dengan fungsi Tuhan yang dipuja. Nilai-nilai kehidupan seperti apa yang tersirat di balik Pura Bukit Jati itu?
============================================================
Fungsi Tuhan yang menjadi jiwa Bhur Loka disebut Dewa Siwa. Yang menjiwai Bhuwah Loka disebut Sada Siwa. Disebut Parama Siwa adalah Tuhan yang menjadi jiwa Swah Loka. Demikian seterusnya Tuhan Yang Maha Esa itu dipuja dalam ribuan nama Dewa. Karena memang Tuhan itu Mahakuasa dan Maha Ada.
Di Pura Bukit Jati, Tuhan dipuja dalam berbagai fungsi dengan berbagai manifestasinya. Menurut nama-nama pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati itu menandakan bahwa pemujaan Tuhan di Pura Bukit Jati bertujuan memotivasi berbagai aspek kehidupan. Dalam tradisi Hindu di Bali pemujaan Tuhan didayagunakan untuk memotivasi berbagai aspek kehidupan agar hidup itu diselenggarakan dengan memulainya dan memohon tuntunan Hyang Widhi. Tentunya hal ini amat tergantung pada kecerdasan umat menerjemahkan simbol-simbol sakral pemujaan itu ke dalam kehidupannya sehari-hari.
Misalnya adanya arca Jalandwara Makara adalah untuk memotivasi pemeliharaan kesucian dan kelancaran air dengan melindungi sumber-sumbernya dari pencemaran dari perilaku oknum yang ceroboh pada kedudukan air dalam kehidupan ini. Pelinggih Padma dan Meru sebagai pemujaan pada Tuhan sebagai Sada Siwa dan roh suci leluhur.
Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan bahwa Pelinggih Padmasana sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sada Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa alam Bhuwah. Demikian pula adanya pelinggih Ida Batara Puncak, ada Gedong Lebah ada Pelinggih Ida Batara Segara. Hal ini mengingatkan kita pada sistem pemujaan Tuhan sebelum Mpu Kuturan menjadi Bhagawanta Kerajaan di Bali ada tiga tempat pemujaan yaitu: Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak.
Melihat adanya Pelinggih Ida Batara Segara, adanya Gedong Lebah amat identik dengan keberadaan Pura Penataran dan adanya Pelinggih Ida Batara Puncak. Tiga tempat pemujaan pada Tuhan ini memotivasi umat Hindu di Bali agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak Tri Bhuwana. Lebih khusus lagi untuk di Bali dengan memuja Tuhan dengan simbol sakral di pelinggih Segara, pelinggih Gedong Lebah dan pelinggih Puncak berarti umat di Bali dimotivasi untuk memelihara kelestarian segara, dataran rendah dan daerah perbukitan serta pegunungan.
Dengan berfungsinya sumber-sumber alam tersebut secara terpadu kehidupan di Bali ini akan berlangsung dengan baik, benar dan wajar. Apalagi di bagian luar atau jaba sisi dari Pura Bukit Jati ini ada Pancoran. Hal ini sebagai kelanjutan dari konsep pemeliharaan air agar senantiasa terus mengalir tanpa tercemar yang disimbolkan dengan adanya arca Jalandwara.
Pancoran itu ada di jaba sisi. Berarti air yang mengalir itu hendaknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, bukan untuk golongan masyarakat kelas atas saja. Demikian juga Pelinggih Pesamuan yang berada di bagian tengah di Utama Mandala di depan Pelinggih Gedong dan Meru. Dalam prosesi upacara terutama saat upacara piodalan di pura, fungsi Balai Pesamuan itu sebagai media simbolis Ida Batara tedun menerima persembahan upacara piodalan dari umat dan juga sebagai simbol Ida Batara Ngeluhur kembali ke stananya di Padma, Meru dan Gedong.
Pesamuan juga berarti pertemuan atau juga berarti bermusyawarah. Melalui Pelinggih Pesamuan ini umat hendaknya termotivasi untuk senantiasa bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu terutama yang menyangkut orang banyak. Ini berarti lewat Pelinggih Pesamuan tersebut umat Hindu di Bali dimotivasi untuk hidup bersama secara demokratis.
Secara ritual memang disimbolkan bahwa semua Ida Batara mengadakan pesamuan di Pelinggih Pesamuan saat upacara piodalan dalam rangka menerima persembahan saat upacara dan melimpahkan sweca atas baktinya umat pada Ida Batara, terutama saat upacara piodalan tersebut. Itulah fungsi simbolis dari Pelinggih Pesamuan.
Di sebelah timur dari Pelinggih Pesamuan ada Pelinggih untuk Ida Batara di Gunung Agung. Gunung Agung sebagai simbol hulunya Bali atau dinyatakan dalam lontar bahwa Besakih Pinaka Huluning Bali Rajya. Meskipun Pura Bukit Jati ada di pusat Kerajaan Linggarsa Pura maka lewat pemujaan di Pelinggih Gunung Agung itu diingatkan agar umat di Bali tidak lupa pada hulu atau kepalanya Pulau Bali simbol Padma Bhuwana.
Pura Besakih adalah tergolong Pura Rwa Bhineda dan Pura Besakih sendiri sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pura Pradana-nya. Purusa artinya jiwa atau hidup. Umumnya pura di Bali senantiasa memiliki Pelinggih Penyawangan ke Gunung Agung dan Gunung Batur. Ini melambangkan bahwa dalam hidup ini manusia haruslah berupaya menyeimbangkan pembangunan kehidupan jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana.
Di Pura Bukit Jati terdapat juga Pelinggih Manjangan Saluwang, bahkan ada dua yaitu terletak di deretan timur di Utama Mandala sebelah selatan Gedong Lebah. Ada juga di deretan utara di barat Pelinggih Pesamuan. Pelinggih Manjangan Saluwang itu umumnya diyakini sebagai pemujaan pada Mpu Kuturan yaitu orang suci yang sebelumnya menjabat sejenis perdana menteri kerajaan pada abad ke-11 Masehi.
Hal ini menggambarkan bahwa di Pura Bukit Jati ada suatu motivasi untuk mendidik generasi penerus agar tidak melupakan jasa-jasa mulia leluhur di masa lampau. Lebih-lebih terhadap Mpu Kuturan yang amat besar jasanya pada proses penerapan ajaran Hindu di Bali pada zamannya. Apa yang beliau warisi sampai sekarang tidak lekang oleh dinamika zaman. Beliaulah yang dapat disebut hidup tanpa napas sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sarasamuscaya. Kalau kita senantiasa berbuat melawan dharma dalam hidup ini disebut mayat bernapas. * wiana
Pura Bukit Jati di Samplangan Gianyar
Labhante brahmanirvana
rsayah ksinakalmasah
chinnadvanidha yatatmanah
sarvabhutahite ratah.
(Bhagawad Gita V.25).
rsayah ksinakalmasah
chinnadvanidha yatatmanah
sarvabhutahite ratah.
(Bhagawad Gita V.25).
Maksudnya:
Orang suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam Ketuhanan.
Orang suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam Ketuhanan.
UNTUK mencapai peningkatan kesucian rohani tidaklah hanya melakukan sembahyang di pura saja. Penyucian diri juga akan dicapai apabila sembahyang itu dilanjutkan dengan senantiasa melakukan upaya-upaya nyata menjaga kesejahteraan isi alam. Misalnya dengan menjaga kelestarian lima unsur alam yang disebut Panca Maha Bhuta dengan segala makhluk hidup yang tumbuh berkembang dari Panca Maha Bhuta tersebut.
Mereka yang senantiasa melakukan upaya-upaya menyejahterakan kehidupan makhluk hidup tersebut kitab suci Bhagawad Gita menjanjikan jalan untuk mencapai Brahma Nirwana atau disebut sorga dalam istilah yang lebih umum. Lebih-lebih mereka yang memiliki kewenangan untuk memimpin publik seperti penguasa kerajaan pada zaman dahulu.
Demikian pula halnya saat awal kekuasaan Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali yang pada awalnya berpusat di Samplangan di timur kota Gianyar. Pusat Kerajaan Dinasti Ida Dalem Kresna Kepakisan itu bernama Linggarsa Pura. Kata ”linggarsa pura” ini berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ”lingga”, ”arsa” dan ”pura”. Lingga artinya stana atau di Bali disebut ”linggih”. Arsa artinya kemauan atau hasrat mulia, pura artinya tempat. Dengan demikian kata ”linggih pura” itu berarti tempat untuk menstanakan atau mengembangkan kemauan mulia.
Salah satu cara mengembangkan kemauan mulia sang raja adalah mengajak rakyat untuk memuja Tuhan sebagai langkah awal mengembangkan kehidupan yang mulia. Salah satu caranya dengan mendirikan tempat-tempat pemujaan Tuhan di tempat-tempat yang strategis. Tempat strategis itu adalah tempat untuk melestarikan alam dan memajukan kehidupan bersama dalam masyarakat berdasarkan Rta dan Dharma.
Demikianlah kebijaksanaan raja di Linggarsa Pura membangun pura dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tempat-tempat pemujaan yang sudah ada. Seperti halnya di Bukit Jati di utara Desa Samplangan, Gianyar itu dikembangkan menjadi tempat pemujaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.
Pura Bukit Jati sebuah pura kuna yang berada di Desa Samplangan di timur kota Gianyar. Pura Bukit Jati ini terletak di bukit yang tidak terlalu tinggi dan sangat indah.
Bukit Jati ini tersembul muncul di daratan Gianyar sepertinya diciptakan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan udara kota Gianyar. Di Pura Bukit Jati ini memang sebelumnya sudah ada beberapa peninggalan zaman magalitikum. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa tempat ini saat pemerintahan sebelum Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah menjadi tempat yang bernuansa spiritual.
Dinasti Dalem berkuasa tahun 1343 Masehi menggantikan Raja Bali Kuna yang terakhir yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Dalam naskah lontar di Bali, Raja ini disebut Sri Tapolung. Sayang Samplangan sebagai pusat pemerintahan Ida Dalem tidak lama bertahan di Samplangan. Tahun 1380 Masehi pusat pemerintahan Dalem pindah ke Gelgel dengan nama Sweca Pura.
Meskipun demikian, Pura Bukit Jati sampai saat ini masih tetap dijadikan tempat pemujaan oleh umat Hindu. Di balik Pura Bukit Jati itu terdapat nilai-nilai kehidupan yang universal yang patut kita renungkan kembali untuk dijadikan landasan dalam menapaki kehidupan ke depan. Pura Bukit Jati adalah tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan alam lingkungan dan masyarakat. Di Pura Bukit Jati ini ada peninggalan arkeologi dalam bentuk makara yaitu arca kepala dengan fungsi tertentu. Misalnya ada arca Bhoma yang berfungsi untuk menggambarkan dewa pohon-pohonan. Kata ”bhoma” dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Di Pura Bukit Jati ini ada arca Jalandwara Makara.
Jalandwara berasal dari kata ”jal” artinya air dan ”dwara” artinya pintu. Jalandwara Makara itu simbol sakral untuk melancarkan jalannya air di bumi ini. Jalandwara Makara ini juga berarti tidak boleh mengotori air sehingga jalannya air ke tengah-tengah masyarakat itu dapat memberi kehidupan yang baik dan benar. Air dalam Canakya Nitisastra itu dinyatakan sebagai salah satu ”ratna permata bumi” di samping tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak atau Subha Sita. Latar belakang spiritual keberadaan tempat pemujaan Bukit Jati dalam sistem sekte Siwa Pasupata itu dilanjutkan dalam sistem pemujaan Siwa Sidhanta.
Peninggalan megalitik dalam kebudayaan Hindu di Bali umumnya dipakai saat Hindu Sekte Siwa Pasupata yang berkembang di Bali, terutama yang menyangkut penggunaan arca sebagai murthi puja atau arca perwujudan. Saat Hindu Sekte Sidhanta yang berkembang simbol pemujaan digunakan sistem pelinggih dengan ista dewata tertentu. Di Pura Bukit Jati sekarang nilai-nilai universal sebagai tujuan pemujaan pada Tuhan itu tetap dilanjutkan dalam wujud yang berbeda.
Keberadaan berbagai pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati tersebut sangat nampak melanjutkan nilai-nilai universalitas tersebut dengan simbol-simbol yang lebih lengkap sesuai dengan kebutuhan sistem pemujaan dalam Siwa Sidhanta.
Demikianlah memang proses pemeliharaan tradisi Hindu. Aspek Sanatana Dharma tetap tidak boleh berubah tetapi ada konsep Nutana yaitu ada proses peremajaan wujud sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi nilai yang diaplikasikan tetap yang kekal abadi dan universal sepanjang zaman. Di Pura Bukit Jati tersebut terdapat 26 bangunan suci.
Ada bangunan utama dan ada yang pelengkap. Bangunan sakral yang utama itu adalah Padmasana, Meru, Gedong Lebah, Pelinggih Manjangan Saluwang, Pelinggih Segara, Pelinggih Ratu Puncak, Pelinggih Ngerurah dan Pancoran. Semua bangunan sakral yang utama itu melanjutkan nilai spiritual sebelumnya untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan di Pura Bukit Jati itu. * I Ketut Gobyah
Pura Indrakila Tempat Pertapaan Pemimpin
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar
Makna Bersatunya Panah Arjuna dengan Dewa Indra
Dalam cerita Arjuna Tapa diceritakan bahwa dalam menghadapi perang Brata Yudha, Arjuna ahli panah penengah Pandawa ini melakukan olah tapa untuk mendapatkan senjata panah. Salah satu tempat Arjuna bertapa adalah di Gunung Indrakila. Karena Arjuna dengan bertapa yang serius itulah akhirnya mendapatkan beberapa panah sakti sebagai salah satu sarana memenangkan perang dalam Brata Yudha. Karena keberhasilan dari Arjuna inilah nampaknya menjadi pendorong Raja Jayasakti mendirikan Pura Indrakila. Dengan kesaktian hasil dari olah tapa itulah yang akan membawa kemenangan sang raja dalam memimpin negara kerajaan.
======================================================
Menang dalam bahasa Sansekerta disebut Jaya. Karena saktilah raja mencapai kemenangannya. Kata ”sakti” saat itu tentunya tidak seperti pengertian dewasa ini. Saat ini kata ”sakti” berkonotasi negatif karena dikaitkan dengan ilmu hitam. Pengertian ”sakti” menurut keterangan Wrehaspati Tattwa 14 dalam keterangan yang berbahasa Jawa Kuno berkonotasi positif.
Dalam Wrehaspati tersebut dinyatakan: Sakti ngarania ikang sarwajnyana lawan sarwa karya. Artinya: Sakti namanya banyak ilmu dan banyak bekerja. Ilmu di sini berarti ilmu kerohanian dan ilmu keduniaan, atau Para Widya dan Apara Widya. Dua ilmu itu dilahirkan dari Weda oleh para Resi. Karena itulah Weda itu disebut Weda Mata artinya Ibu Weda. Mantra Weda itu adalah Sabda Tuhan.
Kesaktian yang seperti pengertian Wrehaspati Tattwa inilah yang dicari oleh Arjuna di Gunung Indrakila. Demikian juga oleh sang Raja Jaya Sakti di Pura Indrakila. Dalam cerita Arjuna Tapa itu diceritakan Arjuna bertapa sangat khusyuk. Karena khusyuknya Arjuna mendapatkan kesaktian berupa daya tahan tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu. Arjuna pun digoda oleh para bidadari yang amat cantik-cantik. Tetapi Arjuna sama sekali tidak tergoda oleh kecantikan para Bidadari dari Kahyangan tersebut.
Selanjutnya Arjuna mendapatkan godaan yang lebih hebat lagi. Arjuna diserang oleh babi raksasa yang amat ganas. Untuk menumpas godaan babi raksasa itu Arjuna memerangi babi tersebut dengan mengarahkan panah saktinya. Di luar dugaan ada seorang pemburu muda juga mengarahkan panah-panahnya pada babi raksasa tersebut. Babi tersebut pun mati kena panah.
Anehnya panah Arjuna dan panah pemburu muda tersebut bersatu menancap di tubuh babi raksasa tersebut. Pemburu tersebut menyatakan bahwa panah yang menancap itu adalah miliknya dan menyatakan bahwa dialah yang membunuh babi tersebut. Sebaliknya Arjuna juga bersikukuh bahwa panah yang membunuh babi tersebut adalah miliknya. Arjuna dan pemburu tersebut pun perang tanding. Pada awalnya keduanya sama-sama kuat. Namun saat Arjuna akan mengakhiri pertempuran tersebut dengan membunuh pemburu muda itu, dalam sekejap saja pemburu itu berubah menjadi Dewa Indra.
Arjuna baru sadar bahwa yang menjadi pemburu itu adalah Dewa Indra untuk menguji ketangguhan Arjuna. Karena Dewa Indra nyata menampakkan diri, maka Arjuna pun menyembah Dewa Indra dengan takjimnya. Cerita Arjuna Tapa ini amatlah populer di Bali, karena sering dipentaskan dalam berbagai seni pentas. Ada lewat seni drama tari, ada lewat seni pewayangan ada lewat seni lukis ada juga lewat seni sastra, dll.
Sesungguhnya cerita Arjuna Tapa itu adalah pentas ajaran Tapa Brata lewat seni sastra kawya yang penuh dengan simbol yang mengandung nilai-nilai filosofi kehidupan di dunia ini. Bersatunya panah Arjuna dengan panah Dewa Indra adalah simbol suatu keberhasilan Tapa Brata untuk menyatukan pikiran dengan kehendak Dewata. Sedangkan babi raksasa itu adalah simbol Guna Tamas yang sering membawa manusia hidup loba dan angkara murka. Guna Tamas itu dapat ditundukkan oleh pikiran suci yang sudah menyatu dengan kehendak Dewata. Demikian juga godaan para bidadari itu tiada lain adalah simbol godaan hawa nafsu.
Menguasai semuanya itulah tujuan dari suatu Tapa Brata. Intinya Arjuna sebagai seorang kesatria baru akan dapat melakukan tugas-tugasnya apabila dia telah dapat mawas diri dan memiliki ketetapan hati, sehingga tidak mudah goyah dalam melindungi rakyat dari kehidupan yang sangsara. Karena tugas-tugas kenegaraan bukanlah hal yang mudah begitu saja dilakukan tanpa memiliki kekuatan moral dan mental serta ilmu pengetahuan yang memadai.
Hal inilah yang nampaknya disadari oleh Raja Jayasaksi sehingga mendirikan Pura Indrakila. Di samping untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa, juga bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang berada di balik cerita Arjuna Tapa. Karena dengan datang untuk berbakti ke Pura Indrakila umat akan dapat menyerap terus nilai-nilai suci dari cerita Arjuna Tapa tersebut.
Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 ada dinyatakan bahwa kewajiban kesatria adalah menciptakan rasa aman (Raksanam) dan sejahtera (Danam) untuk rakyat. Di samping itu mempelajari kitab suci Weda melangsungkan upacara yadnya dan terus-menerus berusaha menguasai dirinya dari ikatan-ikatan indria atau hawa nafsunya.
Dalam Manawa Dharmasastra tersebut upaya menguasai hawa nafsu itu dinyatakan wisayeswaprasaktatis yang artinya terus-menerus berusaha menguasai hawa nafsu yang disebut wisaya. Karena seorang kesatria setiap hari selalu berkecimpung dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Agar jangan hal-hal duniawi itu menjadi negatif, maka setiap hari juga seorang kesatria harus tidak pernah lupa melakukan kegiatan yang memiliki dimensi menguasai gejolak hawa nafsu.
Ibarat seorang kusir kereta setiap saat memegang tali kekang kuda untuk mengarahkan kudanya saat berjalan, sehingga kereta pun akan dapat dibawa sampai ke tujuan. Kalau lengah kuda hawa hawa nafsu itulah yang akan menggelincirkan diri sang kesatria ke arah yang tidak benar. Inilah yang mungkin diinginkan oleh sang Raja Jayasakti sehingga membangun Pura Indrakila.
Kalau fungsi Pura Indrakila tersebut kita perhatikan maka sampai kapan pun akan tetap fungsi pura itu relevan dengan kebutuhan zaman. Apalagi pada zaman post modern ini semakin dibutuhkan sesungguhnya upaya para pemimpin untuk menguasai dirinya agar tidak terjebak pada pengumbaran hawa nafsu yang akhirnya akan membahayakan rakyat. * wiana
Pura Indrakila
Tempat Pertapaan Pemimpin
Tempat Pertapaan Pemimpin
Iyam te rad yantasi yamano
dhruvo-asi dharunah
kryai tva ksemaya tva
rayyai tva posaya tva.
(Yajurveda IX.22).
dhruvo-asi dharunah
kryai tva ksemaya tva
rayyai tva posaya tva.
(Yajurveda IX.22).
Maksudnya:
Wahai para pemimpin menjadikan pengawas kehidupan di negaramu, engkau mawas dirilah, teguhkanlah hatimu, dan dukunglah kehidupan warga negaramu. Kami mendekat padamu demi kemajuan kehidupan pertanian demi kesejahteraan masyarakat dengan kemakmuran yang melimpah.
Wahai para pemimpin menjadikan pengawas kehidupan di negaramu, engkau mawas dirilah, teguhkanlah hatimu, dan dukunglah kehidupan warga negaramu. Kami mendekat padamu demi kemajuan kehidupan pertanian demi kesejahteraan masyarakat dengan kemakmuran yang melimpah.
PURA Indrakila berada di Desa Dausa Kecamatan Kintamani kira-kira 40 km utara kota Bangli. Pura ini terletak di sebuah bukit kecil. Untuk mengungkap keberadaan sejarah pura ini memang belum ditemukan sumber-sumber tertulis yang cukup jelas. Dari suatu turunan prasasti ada yang sedikit menyinggung keberadaan Pura Indrakila ini.
Menurut Dr. R. Goris dalam bukunya ”Sejarah Bali Kuno” menyimpulkan prasasti tersebut dikeluarkan pada zaman pemerintahan Raja Jayasakti di Bali dari tahun 1133-1150 Masehi. Pada zaman ituah diperkirakan Pura Indrakila tersebut dibangun. Dari cerita rakyat secara turun-temurun didapatkan penjelasan bahwa Pura Indrakila tersebut ada hubungannya dengan salah satu episode ceritera Mahabharata yang menyangkut pertapaan Arjuna — penengah Pandawa — di Gunung Indrakila.
Pura Indrakila ini dibuat atas kehendak raja sebagai tempat untuk bermeditasi atau bertapa. Karena kedudukan seorang raja amat strategis dengan tanggung jawab yang amat berat memimpin negara kerajaan, terutama menciptakan iklim hidup yang dapat memajukan kesuburan alam dan kemakmuran rakyatnya.
Seorang pemimpin tidak mungkin bisa berbuat banyak pada rakyatnya apabila dirinya sendiri tidak cukup kuat mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Karena itu, kutipan Mantra Yajurveda, Tuhan mensabdakan agar seorang pemimpin mawas diri dan meneguhkan hatinya terlebih dahulu. Pemimpin yang mawas diri dan memiliki hati yang teguhlah akan mendapatkan wara nugraha dari Tuhan untuk memajukan kehidupan rakyatnya lahir batin, seperti Arjuna melakukan tapa sebelum menghadapi Bratayudha.
Nampaknya hal inilah yang menjadi latar belakang pendirian Pura Indrakila di Desa Dausa, Kintamani tersebut. Raja ingin dalam menyelenggarakan pemerintahannya melakukan olah tapa agar memiliki kemampuan mawas diri dan ketetapan hati dalam menghadapi berbagai tugas dan tanggung jawab yang berat sebagai seorang pemimpin. Karena pemimpin akan berhadapan dengan berbagai gangguan, tantangan, godaan dan hambatan dalam tugas-tugasnya sehari-hari sebagai pemimpin, apa lagi sebagai raja yang memiliki kekuasaan yang besar dan luas.
Tanpa mawas diri dan punya keteguhan hati, bisa mudah tergoyahkan oleh berbagai godaan, hambatan dan tantangan dalam melakukan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin. Dengan melakukan olah tapa untuk meraih karunia Tuhan sebagai yang mahasuci dan mahakuasa, seorang pemimpin akan memiliki kekuatan untuk lebih mawas diri dan tidak mudah tergoda oleh berbagai ilusi dunia maya ini.
Nampaknya cerita Arjuna Tapa di Gunung Indrakila inilah yang memberikan inspirasi untuk mendirikan Pura Indrakila sebagai tempat sang raja bertapa. Pura Indrakila ini didirikan di atas sebuah bukit sebagai bentuk replika Gunung Indrakila tempat Arjuna di India. Pelinggih utama di Pura Indrakila itu adalah Padmasana dengan tiga ruang sebagai simbol pemujaan Sang Hyang Tiga Wisesa atau Sang Hyang Tri Purusa sebagai jiwa agung Tri Loka.
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tiga Wisesa bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual agar umat manusia yang hidup di Bhur Loka ini tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak keadaan di Bhuwah dan Swah Loka. Karena sudah saat itu ada wawasan bahwa kesalahan dalam menata hidup di Bhur Loka dapat merusak keadaan di Bhuwah dan Swah Loka.
Ternyata pada zaman modern ini, hal itu sudah dapat dibuktikan dengan nyata. Seperti menggunakan alat-alat hidup berbagai mesin yang mengeluarkan asap mengotori ruang angkasa. Angkasa yang penuh polusi sudah terbukti menimbulkan berbagai penyakit dan sangat mengganggu kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia di bumi ini.
Di samping itu pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu sebagai wujud bahwa Tuhan itu ada di mana-mana sebagai jiwa agung dari Bhur Loka, Bhuwah Loka dan juga Swah Loka. Sebagai jiwa agung Bhur Loka disebut Batara Siwa, di Bhuwah Loka sebagai Batara Sada Siwa dan di Swah Loka sebagai Paramasiwa.
Pura ini pada mulanya sudah sangat rusak secara fisik dan sudah beberapa kali perbaikan dan perluasan serta mendapatkan penambahan beberapa pelinggih. Pertama-tama perbaikan itu dilakukan tahun 1961-1963 dengan dilanjutkan dengan kelengkapan upacara sebagaimana umumnya berlaku bagi pura yang mendapatkan perbaikan dan perluasan.
Menurut keterangan pemangku pura, Pura Indrakila adalah Pura Dang Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat. Fungsi Pura Dang Kahyangan adalah sebagai pura tempat berguru yaitu belajar dan berlatih kerohanian pada guru spiritual untuk memperkuat jati diri dalam mengamalkan swadharma sesuai dengan Asrama dan Varna masing-masing. Upacara piodalan di Pura Indrakila ini setiap Purnama Sasih Kapat.
Pula Indrakila ini sudah beberapa kali mendapatkan perbaikan sehingga di pura ini terdapat banyak pelinggih pesimpangan dari berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Seperti ada Gedong Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pesimpangan Batara di Besakih dan Batur. Ada juga beberapa Meru Tumpang Tiga dan Pelinggih Gedong yang masih perlu diteliti fungsinya.
Meski demikian, pura ini tetap fungsinya sebagai Pura Dang Kahyangan sebagai pasraman raja dan para pemimpin untuk mengingatkan agar para pemimpin senantiasa melakukan olah tapa menguatkan jati dirinya agar dapat berfungsi dengan baik sebagai pemimpin memajukan kehidupan yang sejahtera lahir batin bagi rakyat yang dipimpin.
Pura Selukat Simbol Penyucian
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar
Melebur ”Mala”, Sucikan Diri di Pura Selukat
Ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa adalah yang paling dicari oleh umat manusia di jagat raya ini. Bahkan kedua hal tersebut di atas, kini sampai dicari oleh orang hingga rela mengeluarkan biaya besar untuk melakukan perjalanan tirtayatra ke negeri seberang. Namun, semua itu kembali kepada rasa, yang tak terlepas dari keyakinan dari seorang untuk melebur segala mala dan menyucikan diri untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam hidup.
===========================================================
Seperti halnya dengan Pura Selukat. Ketenangan dan kedamaian mengalir bagi umat Hindu yang datang ke pura tersebut untuk melukat segala mala dan menyucikan diri. Air kehidupan begitu mengalir secara alami dari dalam bumi ke permukaan. Mereka datang dengan ketulusan hati ke Pura Selukat, mencari ketenangan hati dan pikiran serta kedamaian jiwa.
Mereka datang mencakupkan tangan serta melukat di Pura Selukat untuk menyucikan diri dari segala mala. Tidak hanya terbatas pada kelas sosial, mereka yang datang melukat di Pura Selukat juga atas petunjuk untuk bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Seorang rohaniwan maupun pendeta juga tak luput untuk melukat di pura petirtaan yang ada di alur Sungai Pakerisan.
Tidak hanya untuk masyarakat umum, orang-orang yang belajar ilmu kebatinan, bahkan para pejabat daerah dan mantan pejabat negara kerap kali datang untuk melukat dan memohon anugerah kepada Ida Barata Selukat. ”Mereka yang datang ke Pura Selukat mempunyai tujuan masing-masing dengan cara sembahyang serta melukat,” ungkap Mangku Gede Masceti yang ngayah di Pura Selukat.
Meski bangunan pura tidak begitu luas, namun tak memperkecil makna dari kebesaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya sebagai Tri Murti. Pura Selukat berada di areal persawahan Subak Tuas, Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar. Luasnya kira-kira sekitar 8 are terbagi dalam Tri Mandala, yakni jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pada Utama Mandala (jeroan) terdapat bangunan Padmasana sebagai stana Hyang Widhi, Gedong Penyimpenan dan sepasang arca pendeta.
Di bagian jaba tengah (madya mandala) hanya terdapat sebuah Gedong yang di dalamnya terdapat pancuran yang merupakan saluran dari sumber mata air di Pura Selukat. Dalam Gedong Patirtaan tersebut adalah sumber air patirtaan terdiri atas tiga sumber, dari barat, utara dan timur. Sedangkan di bagian jaba sisi terdapat bangunan Pesandekan (peristirahatan) serta dua pancuran yang sumber airnya berasal dari dalam gedong untuk melukat warga yang datang ke Pura Selukat.
Kebiasaan warga setempat bahwa setiap ingin melukat di Pura Selukat tidak serta merta langsung begitu saja masuk ke jeroan. Meski telah dilengkapi dengan sesaji disertai dengan berbusana adat untuk sembahyang, perjalanan melukat diawali dengan terlebih dahulu membersihkan diri (mandi) di tepian Sungai Solas Sowan, yang berada di sebelah timur pura. Usai mandi baru dilakukan pangelukatan oleh pemangku dengan air yang berasal dari dalam gedong untuk selanjutnya dituntun masuk ke jeroan. Di tempat ini, dilakukan persembahyangan memohon untuk dihapuskan segala mala yang ada di dalam dirinya.
Kata ‘’selukat”, menurut salah satu tokoh Puri Keramas yang juga sebagai penulis I Gusti Agung Wiyat S. Ardhi, berasal dari kata ”Sulukat” — ”Su” berarti baik dan ”lukat” berarti penyucian — tempat menyucikan diri guna memperoleh kebaikan, kerahayuan. Pura Selukat ini diyakini mampu membersihkan diri seseorang secara niskala, sanggup menghilangkan segala penyakit. Mereka yang datang ke Pura Selukat adalah mereka yang sedang dirajam penyakit seperti bebai, pikiran yang kalut/kacau, dan sebagainya.
Mangku Gede Masceti menambahkan, keberadaan Pura Selukat sebagai tempat untuk melukat segala mala, khususnya penyakit tercantum dalam Usada Bebai. Mereka yang terkena penyakit ini menggunakan tirtha selukat beserta tirtha sudamala yang disertai dengan tirtha pendukung lainnya yang jumlahnya sebanyak 11 tirtha.
Warga yang datang untuk melukat di Pura Selukat dalam hal ini tidak ada sesaji khusus. Hanya, jika tujuannya sebatas menyucikan diri, memohon keselamatan, cukup membawa banten pejati. Namun, jika pernah sakit atau sedang dalam proses penyembuhan, selain membawa pejati juga ditambah sesaji yang disebut tebasan pelukatan.
Di samping untuk membersihkan diri dari segala mala, Pura Selukat juga menyimpan kekuatan lain. Pura Selukat yang kini banyak didatangi oleh warga dari luar Gianyar ini, juga mampu memberikan anugerah taksu pada keahlian seseorang. Kebanyakan taksu mengalir dari Pura Selukat merupakan taksu seniman. Namun hal tersebut tidak terlepas dari sebagaimana yang diinginkan oleh warga yang datang ke Pura Selukat.
Dalam cermatan Agung Wiyat S., keberadan Pura Selukat dalam hal ini seakan menjadi tempat persembahyangan wajib bagi para seniman yang tumbuh di daerah setempat. Keterikatan para penggiat seni dengan pura yang berlokasi di tepian Sungai Solas Sowan ini bukan semata-mata dikarenakan lokasi pura yang berada dalam satu desa. Para seniman yang ada sangat percaya Ida Batara yang berstana di Pura Selukat mampu memberikan anugerah taksu sehingga kesenian yang digeluti menjadi hidup, bertenaga dan berkarisma. Sehingga dari desa ini menetas puluhan penggelut seni teater Bali (Arja), seperti I Monjong yang namanya tentu kini masih dikenang penggemar Arja di Bali.
Ada juga yang tujuan lainnya. Mereka yang sebelum membangun kelompok kesenian, biasanya warga tangkil ke Pura Selukat, seakan meminta petunjuk. Setelah terbentuk, mereka kembali lagi ke pura untuk menyatakan permakluman serta kesungguhan hati. Setelah mendapatkan penganugerahan, para seniman ini biasanya juga ngadegang, melakukan pemujaan khusus ke hadapan Ida Batara Selukat di rumahnya masing-masing. Dari sana nantinya mereka akan memohon izin kepada Beliau sebelum akhirnya berangkat pentas.
Selain seniman di Keramas, banyak pula seniman di luar desa bahkan Gianyar yang datang untuk memohon taksu di Pura Selukat. Termasuk para pejabat daerah. Seperti halnya beberapa waktu lalu, salah satu kandidat calon bupati maupun gubernur mendatangi Pura Selukat memohon penyucian diri dan anugerah.
Keberadaan Pura Selukat dalam angka tahun sama sekali tidak diketahui. Dari berbagai sumber menyebutkan, adanya nama Pura Selukat ini selain terdapat dalam Usada Bebai, juga terdapat dalam Kesuma Dewa dan Pura Keramas. Dalam Kesuma Dewa di mana disebutkan dalam kaitannya Ida Batara Sakti Gunung Lebah Gunung Agung dalam hal mamijilkan tirtha terebesan danau disebutkan Tirtha Telaga Waja, Tirtha Selukat dan tirtha yang ada di tengah segara. ”Di sana hanya disinggung kalimat selukat sedikit,” katanya.
Namun dalam Purana Keramas disebutkan bahwa Pura Selukat dikenal dengan sebagai sumber air kehidupan. Pura ini diperkirakan ditemukan hampir bersamaan dengan Pura Masceti, oleh I Gusti Agung Maruti. Saat meninggalkan Cau Rangkan (Jimbaran), menuju arah timur laut yang diiringi 1.100 pasukan tiba di suatu tempat dan menemukan bebaturan, berlokasi di dalam hutan, dekat dengan pantai yang kini dinamakan Pura Masceti.
Setelah mengaturkan bakti kepada Ida Batara yang berstana di tempat suci tesebut, beliau yang mendapatkan petunjuk kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri hutan yang lebat ke arah barat laut. Dalam perjalanan, kawasan perbukitan di pinggir Sungai Pakerisan ditemukan sumber air. Air ini kemudian dipergunakan sebagai sarana membersihkan diri beserta dengan iringan pasukannya.
Usai masucian, beliau beserta dengan iringan pasukannya menyusuri tepian Sungai Pakerisan. Ternyata terdapat 10 sumber mata air lainnya ditemukan sebelum akhirnya I Gusti Agung Maruti sampai di sebuah desa yang kini disebut Desa Keramas.
Sejak ditemukannya sumber mata air tersebut, kini warga di desa tersebut banyak memanfaatkan sumber air Selukat untuk keperluan penyucian diri, mengheningkan pikiran. Lambat laun, keberadaan Pura Pancoran Selukat — sebut orang di sana — kini banyak didatangi oleh orang-orang dari Tabanan, Denpasar, Bangli dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Bali. Ketenaran pura semakin bertambah ketika dibuka Jalan IB Mantra. Mereka yang ingin tangkil dari luar daerah lebih gampang mencari air kehidupan untuk ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa, dan anugerah taksu dalam kehidupan. (dar)
Pura Selukat Simbol Penyucian
Jnyanam tapo ”gniraharaumrin
manovaryupajanam vayuh
kamarkakalau ca sudheh
krtrini dehinam
Manawa Dharmasastra, V.105).
manovaryupajanam vayuh
kamarkakalau ca sudheh
krtrini dehinam
Manawa Dharmasastra, V.105).
Maksudnya:
Yang merupakan sarana penyucian bagi makhluk hidup adalah ilmu pengetahuan, kesucian api, makanan suci, pertiwi, pengendalian pikiran, air bhasma, angin, upacara suci, matahari dan sang waktu.
Yang merupakan sarana penyucian bagi makhluk hidup adalah ilmu pengetahuan, kesucian api, makanan suci, pertiwi, pengendalian pikiran, air bhasma, angin, upacara suci, matahari dan sang waktu.
PENGERTIAN penyucian dalam hal ini adalah suci secara jasmani dan rohani. Suci secara rohani adalah proses untuk menghilangkan pengaruh klesa dalam diri manusia. Klesa artinya kotor. Klesa itu ada lima yaitu Awidya artinya kegelapan jiwa karena merasa pintar, kaya, muda, kuat, bangsawan, cantik atau ganteng. Asmita mementingkan diri sendiri, Raga mementingkan pengumbaran hawa nafsu, Dwesa adalah benci dan dendam, Abhiniwesa adalah rasa takut. Kalau lima klesa itu mendominasi hidup seseorang, maka hidup tersebutlah yang disebut hidup yang kotor.
Untuk membersihkan diri dari kekotoran karena kekuasaan lima klesa itu tidaklah mudah. Amat dibutuhkan suatu keyakinan bahwa melawan klesa itu adalah suatu perilaku yang direstui Tuhan. Untuk menguatkan mental dan moral membersihkan diri itu umat seyogianya memohon tuntunan Tuhan. Hal inilah nampaknya yang menjadi dasar pemikiran leluhur umat Hindu di Desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar mendirikan Pura Selukat di tengah sawah di Subak Tuas.
Pura ini adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai pemberi anugerah pangelukatan dengan simbol Tirtha Pangelukatan. Karena dalam berbagai susastra Hindu penyucian tersebut dapat menggunakan berbagai sarana. Seperti pertiwi, agni, surya, upacara suci, dsb. Tetapi dalam Bhuwana Kosa penyucian yang paling utama dengan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci. Kalau Jnyana ini diterapkan dengan tepat untuk menguatkan cinta kasih kepada Tuhan (Dewa Abhimana), kepada kebenaran dan kewajiban suci (Dharma Abhimana) dan cinta pada tanah kelahiran dalam wujud pengabdian pada tanah air (Desa Abhimana).
Di Pura Selukat ada dua Arca Pandita. Arca ini nampaknya untuk mengingat akan fungsi pandita untuk menuntun umat dalam mendalami ajaran yang terdapat dalam pustaka suci. Sebagai penuntun umat dalam mendalami isi pustaka suci pandita disebut acarya. Sedangkan pandita yang ngaloka pala sraya menuntun dalam bidang upacara yadnya disebut Srotria. Dua fungsi pandita inilah yang nampaknya disimbolkan oleh Arca Pandita di Pura Selukat tersebut.
Dua fungsi pandita dalam menuntun masyarakat inilah yang terkait dengan kehidupan sosial religius. Kalau pandita tersebut sudah mencapai tingkat sanyasin, menurut ketentuan Agastia Parwa tidak dibenarkan lagi untuk berkecimpung dalam kehidupan masyarakat. Sanyasin artinya melepaskan diri dari kehidupan duniawi sama sekali. Yang menjadi perhatian hanyalah patilaring Atma tanupa guruken. Artinya hanya belajar terus untuk melepaskan Atma dari badan sarira-nya.
Pura Selukat adalah pura untuk menuntun masyarakat luas. Hal ini sebagai dasar mengapa hanya ada dua Arca Pandita di Pura Selukat tersebut. Di samping itu tuntunan pandita sebagai Adi Guru Loka adalah menuntun umat untuk mendapatkan tuntunan hidup duniawi dan rohani atau dalam kehidupan sekala dan niskala.
Fungsi utama Pura Selukat adalah sebagai media untuk memohon tirtha pangelukatan pada Tuhan untuk menyucikan kehidupannya di bumi ini. Tuhan sebagai dewanya tirtha pangelukatan adalah Ganesa. Fungsi Ganesa adalah sebagai Wighnaghna Dewa atau Wighneswara dan Winayaka Dewa. Tuhan dipuja sebagai Wighnaghna Dewa adalah untuk mendapatkan keyakinan dalam melawan halangan hidup yang berasal dari luar diri manusia.
Dengan memuja Batara Gana diyakini kehidupan di bumi ini akan terlindungi dari berbagai serangan dari luar diri manusia. Sedangkan tirtha pebersihan untuk melawan gangguan hidup yang berasal dari dalam diri. Tirtha pebersihan simbol kekuatan Dewa Siwa. Dalam mitologi Hindu Dewa Siwa adalah ayah dari Dewa Ganesha. Ini menggambarkan bahwa musuh yang berada dalam diri manusia itu jauh lebih kuat daripada musuh yang berada dari luar diri.
Dalam kekawin Nitisastra dinyatakan: Norana satru mengelwihaning hana geleng ri hati. Artinya, tidak ada musuh yang melebihi musuh yang ada dalam diri. Inilah logikanya mengapa dewa dari tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Hal itu sebagai tuntunan untuk memotivasi umat agar jangan menganggap remeh musuh yang berada dalam diri. Karena musuh dalam diri diyakini jauh lebih kuat daripada musuh dari luar diri karena itu Tuhan yang dipuja dalam menciptakan tirtha pebersihan adalah Batara Siwa.
Sementara tirtha pangelukatan adalah Batara Gana. Batara Gana di samping sebagai Wigheswara juga sebagai Dewa Winayaka. Dewa Winayaka itu adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai ”Dewa Kebijaksanaan”. Winayaka artinya bijaksana. Bijaksana itu suatu langkah yang dilakukan oleh indria yang sehat dikendalikan oleh kecerdasan pikiran dengan kendali kesadaran budhi. Dalam keadaan seperti itulah kesucian Atman dapat diwujudkan.
Tujuan manusia lahir ke dunia ini adalah menjadikan badan atau sarira ini sebagai alat untuk mencapai empat tujuan hidup. Hal ini dinyatakan dalam Brahma Purana 45.228. Dharma, Artha, Kama, Mokshanam sarira sadhanam. Artinya badan (sarira) ini hendaknya dijadikan alat untuk mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Untuk mendapatkan kondisi yang dapat mendorong manusia bijaksana diperlukan upaya penyucian diri.
Penyucian diri itu meliputi membangun kesehatan fisik yang menyentuh kesepuluh alat indria. Selanjutnya membangun kecerdasan pikiran dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas adalah makanan suci sebagai salah satu sarana penyucian diri untuk membangun kesehatan alat-alat indria. Sedangkan ilmu pengetahuan yang disebut Jnyana itu sebagai sarana untuk penyucian diri yang pertama.
Bhuwana Kosa menyatakan olmu pengetahuan itu sarana penyucian yang paling utama. Jadinya tirtha pangelukatan dari Pura Selukat itu memiliki makna yang multidimensi dalam membangun hidup yang suci sebagai dasar membangun masyarakat suci. * I Ketut Gobyah
Pura Goa Gajah
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar

Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah
Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?
=======================================================
TIGA bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu.
Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda. Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya.
Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut.
Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
Keberadaan ciptaan Tuhan ini memang Sama Beda. Namun yang penting adalah bagaimana cara memposisikan persamaan dan perbedaan tersebut. Kalau persamaan dan perbedaan itu dimanajemen dengan baik maka semuanya akan lebih produktif mendambakan hidup rukun dan damai mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera berdasarkan kebenaran dan kesucian.
Umat Hindu khususnya dan umat beragama pada umumnya ada baiknya kita kembali renungkan berbagai warisan keagamaan yang berada di Pura Goa Gajah itu.
Kerukunan dan toleransi untuk saling menghargai eksistensi pihak lain yang berbeda sangat jelas tercermin di Pura Goa Gajah. Ke depan umat Hindu harus lebih berpendidikan kalau dibandingkan dengan umat di masa lampau. Seyogianya umat Hindu dewasa ini lebih mampu menunjukkan kelebihannya dalam mengelola perbedaan. Janganlah justru terbalik justru perbedaan dijadikan ajang untuk saling bermusuhan. * wiana
Tri Purusa di Goa Gajah
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhka.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan.
(Wrehaspati Tattwa.50).
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan.
(Wrehaspati Tattwa.50).
Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.
Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.
Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu adalah sebagai dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku ”Penuntun ke Objek-objek Purbakala” oleh Prof. Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu sepertinya kurang nyambung dengan konsep pantheon Hindu.
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini.
Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi.
Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan.
Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi.
Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur.
Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya.
Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak. Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak.
Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah.* I Ketut Gobyah
Pura Buwit di Desa Tulikup, Gianyar
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar
Menengok Keberadaan Pura Buwit di Desa Tulikup, Gianyar
Dulu Menjadi Lokasi Pelabuhan di Zaman Arya
Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai Tulikup Gianyar menyimpan nilai sejarah yang cukup tinggi. Zaman dahulu pura tersebut adalah pelabuhan para arya yang datang dari Pulau Jawa ke Bali Dwipa. Seperti apa?
OKA SURYAWAN, Gianyar
—
SIANG kemarin, terik matahari begitu menyengat. Di jalan setapak sepanjang kurang lebih 300 meter masuk agak ke selatan itu tidak terlihat satupun warga yang melintas. Sepanjang jalan selebar kurang dari dua meter itu nampak pohon pisang menyambut. Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya menuju Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai. Lokasi pura sangat gampang dicari lewat jalan bypass Prof Ida Bagus Mantra. Lokasinya percis di timur jembatan Lebih- Tulikup. Agar tidak membingungkan umat, di pinggir jalan tersebut diisi plang khusus.
Lokasi pura sendiri terletak di tengah sawah dan sangat asri. Di utama mandala sendiri belum semua pembangunan permanen. Hanya terdapat sebuah palinggih pesamuan alit yang belum selesai dikerjakan. Tembok pura juga belum semuanya terpasang. Pura yang luasnya kurang lebih sepuluh are itu diempon warga Sangging se-Bali. Jumlah warga Sangging di Pulau Dewata ini diperkirakan mencapai 18 ribu jiwa. Hal itu dibenarkan oleh Ketut Wijana Sangging, salah satu pengempon Pura Buwit.
Menurutnya, piodalan di Pura Buwit berlangsung setiap Tumpek Wayang setiap enam bulan sekali. Sangging menceritakan, nama Buwit sendiri berarti pelabuhan. Ini tercantum dalam berbagai Susastra. “Dulu di sekitar pura diyakini menjadi pelabuhan para arya yang datang ke Bali. Sebagai bukti ada gundukan kecil yang ada di tengah pura,” ujar Sangging meyakinkan.
Menurutnya, setiap berlangsung piodalan semua warga Sangging se-Bali datang sembahyang di pura tersebut. “Pura Buwit diyakini sebagai pura dasar Sangging di Bali,” cetusnya meyakinkan.
Renovasi beberapa palinggih di utama mandala pura demikian Sangging dilakukan tahun 2005. “Renovasi belum bisa dilakukan secara penuh. Ini karena faktor biaya. Kita lakukan secara bertahap,” ujarnya.
Yang penting kata Sangging, bagaimana warga Sangging di Bali bisa mengetahui keberadaan pura yang memiliki sejarah yang cukup tinggi. ” Ini ibarat kawitan. Jangan sampai umat tidak mengetahui,” ujarnya.***
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=151199&c=94
Dulu Menjadi Lokasi Pelabuhan di Zaman Arya
Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai Tulikup Gianyar menyimpan nilai sejarah yang cukup tinggi. Zaman dahulu pura tersebut adalah pelabuhan para arya yang datang dari Pulau Jawa ke Bali Dwipa. Seperti apa?
OKA SURYAWAN, Gianyar
—
SIANG kemarin, terik matahari begitu menyengat. Di jalan setapak sepanjang kurang lebih 300 meter masuk agak ke selatan itu tidak terlihat satupun warga yang melintas. Sepanjang jalan selebar kurang dari dua meter itu nampak pohon pisang menyambut. Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya menuju Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai. Lokasi pura sangat gampang dicari lewat jalan bypass Prof Ida Bagus Mantra. Lokasinya percis di timur jembatan Lebih- Tulikup. Agar tidak membingungkan umat, di pinggir jalan tersebut diisi plang khusus.
Lokasi pura sendiri terletak di tengah sawah dan sangat asri. Di utama mandala sendiri belum semua pembangunan permanen. Hanya terdapat sebuah palinggih pesamuan alit yang belum selesai dikerjakan. Tembok pura juga belum semuanya terpasang. Pura yang luasnya kurang lebih sepuluh are itu diempon warga Sangging se-Bali. Jumlah warga Sangging di Pulau Dewata ini diperkirakan mencapai 18 ribu jiwa. Hal itu dibenarkan oleh Ketut Wijana Sangging, salah satu pengempon Pura Buwit.
Menurutnya, piodalan di Pura Buwit berlangsung setiap Tumpek Wayang setiap enam bulan sekali. Sangging menceritakan, nama Buwit sendiri berarti pelabuhan. Ini tercantum dalam berbagai Susastra. “Dulu di sekitar pura diyakini menjadi pelabuhan para arya yang datang ke Bali. Sebagai bukti ada gundukan kecil yang ada di tengah pura,” ujar Sangging meyakinkan.
Menurutnya, setiap berlangsung piodalan semua warga Sangging se-Bali datang sembahyang di pura tersebut. “Pura Buwit diyakini sebagai pura dasar Sangging di Bali,” cetusnya meyakinkan.
Renovasi beberapa palinggih di utama mandala pura demikian Sangging dilakukan tahun 2005. “Renovasi belum bisa dilakukan secara penuh. Ini karena faktor biaya. Kita lakukan secara bertahap,” ujarnya.
Yang penting kata Sangging, bagaimana warga Sangging di Bali bisa mengetahui keberadaan pura yang memiliki sejarah yang cukup tinggi. ” Ini ibarat kawitan. Jangan sampai umat tidak mengetahui,” ujarnya.***
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=151199&c=94
Pura Bukit Dharma di Kutri
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar

Pura Bukit Dharma di Kutri——
Masuknya Budaya Hindu ke Bali
Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?
=====================================================
Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.
Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.
Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali.
Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.
Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.
Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.
Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.
Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.
Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.
Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.
Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. * wiana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/1/bd2.htm
Dewi Durgha di Pura Bukit Dharma
Om Catur divya maha sakti.
Catur asrame Bhatari.
Siwa jagatpati Dewi
Durga sarira dewi.
(Stuti & Stava 308.2)
Catur asrame Bhatari.
Siwa jagatpati Dewi
Durga sarira dewi.
(Stuti & Stava 308.2)
Maksudnya:
Om Hyang Widhi dalam wujud Catur Dewi, mahakuasa dan mahasuci, Hyang Widhi sebagai Dewi yang dipuja dalam empat kehidupan manusia, Catur Dewi adalah saktinya Sang Hyang Siwa, Dewa dari seluruh Dewa. Om Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sebagai Dewi Durga.
Om Hyang Widhi dalam wujud Catur Dewi, mahakuasa dan mahasuci, Hyang Widhi sebagai Dewi yang dipuja dalam empat kehidupan manusia, Catur Dewi adalah saktinya Sang Hyang Siwa, Dewa dari seluruh Dewa. Om Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sebagai Dewi Durga.
PURA Bukit Dharma di Kutri Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai stana (padharman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Dharma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.
Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Dharma Patni — sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Hindu di Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan Hindu Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan beragama Hindu di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.
Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Dharma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Dharma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan beragama Hindu di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Dharma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Dharma Patni distanakan (didharmakan) di Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan.
Di pura ini mermaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Maisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat Hindu di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.
Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga” dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya itu disebut Durga.
Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Dharma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Dharma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.
Gunapriya Dharma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Dharma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.
Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana.
Menurut Swami Satya Narayana, senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.
Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini distanakan pada bangunan pelinggih di arah ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Dharma ini. Arah ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta. Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.
Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.
Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa dengan Dewi Parwati atau Dewi Durga. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini.
Kehidupan ini banyak aspeknya. Karena itu Tuhan Yang Esa itu dipuja dalam berbagai aspeknya dengan sebutan Dewa. Nama-nama Tuhan yang banyak ini menurut Rgveda diberikan oleh para resi atau para Vipra. Demikianlah pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menguatkan dan menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani dari umat pemuja Tuhan itu. * I Ketut Gobyah
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/1/bd1.htmPura Gunung Raung di Taro
Posted by Adnyana under Pura di Gianyar
Pura Gunung Raung sebagai Pasraman
Pura Gunung Raung ini agak lain daripada Pura Kahyangan Jagat pada umumnya. Pura ini menghadap ke timur, sehingga kalau kita sembahyang kita akan menghadap ke arah barat seperti halnya di Pura Luhur Ulu Watu. Keunikan yang lain adalah Pura Gunung Raung memiliki empat pintu masuk dari empat penjuru. Pintu masuk dari arah timur, utara dan selatan dibuat dari Candi Bentar dengan ukirannya. Sedangkan pintu dari arah barat hanya dengan pintu kecil saja. Apa makna ada empat pintu masuk ini belum ada sumber yang secara pasti menjelaskan.
====================================================
Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.
Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang, balai kulkul dan gedong tempat busana. Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi, Pelinggih Ratu Pasek, Pelinggih Ratu Ngerurah, Balai Gong, Titi Gonggang, Balai Kulkul dari pohon Salagui, Balai Pegat, Palinggih Batara Sri dan Pelinggih Bale Agung. Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung.
Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit. Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik” dalam bahasa Bali artinya tahapan.
Pelinggih Ratu Rambut Sedhana. Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga.
Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.
Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti. Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
Selanjutnya ada Balai Pengeraos sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.
Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu, Gunung Batur, Gunung Sari, Gunung Agung, Penyawangan ke Campuan Ubud Padmasana dan ada juga Balai Pingit umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta. Suara genta sebagai pengantar upacara sebagai simbol Nada Brahman untuk mengantarkan bahwa getaran sabda Tuhan itu merasuk ke dalam lubuk hati nurani umat yang memuja.
Ke depan tentunya hal ini dapat saja dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan genta dengan cara melakukan pembahasan sebagai upaya kreasi sistem beragama Hindu untuk ke depan sepanjang untuk menajamkan kedalaman penerapan tattwa agama Hindu yang bersifat langgeng atau Sanatana Dharma.
Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci. * wiana
Pura Gunung Raung di Taro
…acara sang sista, dharma ta ngarannika.
Sista ngaran sang hyang satya wadi,
sang apta, sang patirthan, sang pana
dahan upadesa (Sarasamuscaya 40).
Sista ngaran sang hyang satya wadi,
sang apta, sang patirthan, sang pana
dahan upadesa (Sarasamuscaya 40).
Maksudnya:
Tradisi hidup orang utama yang disebut sang Sista juga disebut Dharma. Orang yang disebut Sista itu adalah orang yang selalu menyatakan kebenaran (Satyavadi), orang yang dapat dipercaya karena cakap dan bijaksana (apta), orang yang menjadi tempat penyucian diri (sang patirthan) dan orang yang selalu mengajarkan pendidikan kerohanian (penadahan upadesa).
Tradisi hidup orang utama yang disebut sang Sista juga disebut Dharma. Orang yang disebut Sista itu adalah orang yang selalu menyatakan kebenaran (Satyavadi), orang yang dapat dipercaya karena cakap dan bijaksana (apta), orang yang menjadi tempat penyucian diri (sang patirthan) dan orang yang selalu mengajarkan pendidikan kerohanian (penadahan upadesa).
Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut ”panadahan upadesa”. Penyebaran pendidikan rohani tersebut dilakukan untuk membangun umat agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Karena kendali kehidupan di dunia ini diawali dengan membangun kesadaran rohani untuk menata kehidupan duniawi.
Dang Hyang Markandya disamping beliau seorang yang Sista atau orang utama karena ahli kitab suci Weda, juga beliau adalah orang suci yang sudah apta atau dapat kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya beliau sebagai cikal bakalnya mendirikan Pura Basukian sebagai pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar, pada umumnya letak pura di Desa Kuna di Bali adalah di hulu dan di hilir desa. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Resi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Resi Markandya dari Jawa Timur ke Bali. Pada mulanya Resi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Resi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa Timur.
Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Resi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Petunjuk gaib itu beliau laksanakan. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.
Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Resi Markandya kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati.
Setelah melalui samadi Resi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.
Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih yaitu di Pura Basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Resi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti pembagian tanah, dll. Desa itulah terus bernama Desa Puakan.
Ada juga beliau mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Resi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Resi Markandya kembali ke Jatim dan mengadakan samadi.
Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Resi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Resi Markandya mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.
Karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata ”taru” artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip dengan yang ada di Gunung Raung. Karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang.
Di Desa Taro ada sapi putih konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat ditarik kesimpulan bahwan Resi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu.
Sekte itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.
Menurut Swami Siwanandaa, agama Hindu menyiapkan hidangan spiritual kepada setiap orang sesuai dengan perkembangan hidupnya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam keanekaragaman sistem sampradaya dalam beragama Hindu tersebut. * I Ketut Gobyah